Konsep Dasar Retardasi Mental
A. Definisi : Retardasi mental adalah
penurunan fungsi intelektual yang menyeluruh secara bermakna dan secara
langsung menyebabkan gangguan adaptasi sosial, dan bermanifestasi selama masa perkembangan. (Sari Pediatri, 2000: 170). Menurut AAMR (American Association of Mental Retardation), 2002, retardasi mental
adalah disabilitas/ketidakmampuan yang ditandai dengan fungsi intelektual di
bawah rata-rata dan rendahnya kemampuan untuk menyesuaikan diri (perilaku
adaptif). Ketidakmampuan ini muncul sebelum berusia 18 tahun. Sekitar
2-3% dari populasi dunia mengalami retardasi mental. Retardasi mental dapat
muncul sebagai salah satu gejala dari gangguan atau penyakit lain. kelainan atau kelemahan jiwa
dengan inteligensi yang kurang (subnormal) sejak masa perkembangan (sejak lahir
atau sejak masa anak). Biasanya terdapat perkembangan mental yang kurang secara
keseluruhan, tetapi gejala yang utama ialah inteligensi yang terbelakang.
Retardasi mental disebut juga oligofrenia (oligo: kurang atau sedikit dan fren:
jiwa) atau tuna mental (W.F. Maramis, 2005: 386).
B. Penyebab retardasi mental : Penyebab retardasi mental mungkin faktor keturunan (retardasi mental genetik), mungkin
juga tidak diketahui (retardasi mental simplek). Kedua-duanya dinamakan juga
retardasi mental primer. Retardasi mental sekunder disebabkan faktor-faktor
dari luar yang diketahui dan faktor-faktor ini mempengaruhi otak mungkin pada
waktu prenatal, perinatal atau postnatal (Maramis, 1996 ; 387). Pedoman
Penggolongan Diagnosa Gangguan Jiwa ke-1 (PPDGJ-1) memberikan subkategori
klinis atau keadaan-keadaan yang sering disertai retardasi mental sebagai
berikut :
a. Akibat infeksi dan atau intoxikasi
b. Akibat rudapaksa dan atau sebab fisik lain
c. Akibat gangguan metabolisme, pertumbuhan
atau gizi
d. Akibat penyakit otak yang nyata (postnatal)
e. Akibat penyakit atau pengaruh prenatal yang tidak jelas
f. Akibat kelainan kromosoma
g. Akibat prematuritas
h. Akibat gangguan jiwa yang berat
i. Akibat deprivasi psikososial
C. Pembagian tingkat-tingkat inteligensia
Pembagian
tingkat-tingkat inteligensia, patokan
sosial didasarkan atas keadaan masyarakat yang “normal” (Maramis,1996;391)
Nama
|
IQ
|
Tingkat
|
Patokan
Sosial
|
Patokan
Pendidikan
|
Keadaan
bodoh, bebal
|
68-85
|
Taraf
perbatasan
|
Tidak
sanggup bersaing dalam mencari nafkah
|
Beberapa
kali tidak naik kelas di SD
|
Debilitas
(keadaan tolol)
|
52-67
|
Retardasi
mental ringan
|
Dapat
mencari nafkah secara sederhana dalam keadaan baik
|
Dapat
dilatih dan dididik di sekolah khusus
|
Imbisilitas (keadaan dungu)
|
36-51
|
Retardasi
mental sedang
|
Mengenal
bahaya, tidak dapat mencari nafkah
|
Tidak
dapat dididik, dapat dilatih
|
Imsibilitas
|
20-35
|
Retardasi mental Berat
|
Mengenal bahaya, tidak dapat
mencari nafkah
|
Tidak dapat dididik, dapat
dilatih
|
Idiosi
|
< 20
|
Retardasi mental sangat berat
|
Tidak mengenal bahaya, tidak
dapat mengurus sendiri
|
Tidak dapat dididik dan
dilatih
|
D. Diagnosis dini retardasi mental
Adanya retardasi mental dapat dicurigai pada
bayi yang usianya masih muda. Hal yang penting diperhatikan ialah fakta bahwa
anak atau bayi yang retardasi mental dari sejak lahir perkembangan mentalnya
akan terbelakang di semua bidang, kecuali sesekali tidak terbelakang dalam
bidang motorik umum (misalnya waktu dapat berdiri, berjalan).
Anak
atau bayi yang retardasi mental secara relative
lebih terbelakang perkembangannya dalam berbicara, dalam jumlah perhatian
terhadap sekitar, dalam berkonsentrasi, kesiagaan dan kecepatan berespon.
1.
Minggu-minggu pertama
Gejala pertama
dari mental subnormal (retardsi mental) mungkin berupa keterlambatan dalam
senyum dan memperhatikan. Keterlambatan dalam mengikuti benda bergerak dengan
matanya juga ditemukan pada bayi mental subnormal. Hal ini tidak jarang memberi
kesan yang salah pada orang-tua, seolah-olah bayi tidak dapat melihat atau
ketajaman penglihatannya terganggu. Bayi tampaknya tidak peduli terhadap
lingkungannya, tidak memperhatikan lingkungannya, dan dapat menimbulkan
kecurigaan bahwa ia buta. Juga dapat dijumpai keterlambatan bereaksi terhadap
bunyi. Hal ini juga dapat memberi kesan yang salah, bahwa bayi tuli. Juga bayi
terlambat untuk mampu mengunyah sehingga menyebabkan kesulitan dalam memberi
makanan.
2.
Memandang tangan sendiri
Bayi normal yang
berusia 12-20 minggu bila berbaring sering memperhatikan gerakan tangannya
sendiri. Pada bayi mental subnormal gejala ini masih terlihat sampai usia yang
lebih tua dari 20 minggu.
3.
Memasukkan benda ke mulut
Kegiatan
memasukkan benda yang diperolehnya ke dalam mulut merupakan tindakan yang khas
bagi bayi berusia 6-12 bulan. Padabayi retardasi mental kegiatan ini masih
berlanjut sampai usia yang lebih tua. Kita masih dapat melihat pada anak
retardasi mental yang berusia 2-3 tahun yang masih suka memasukkan kubus atau
mainan ke dalam mulutnya.
4.
Kurang perhatian dan konsentrasi
Gejala ini
penting diperhatikan. Anak yang mental subnormal kurang mempunyai perhatian
terhadap sekitarnya. Perhatian terhadap mainan hanya berlangsung singkat, atau
malah tampak tidak mengacuhkannya. Bila diberi mainan, ia tidak melakukan hal
yang konstruktif dengan mainan tersebut. Mainan tidak dapat menarik
perhatiannya. Bila mainan dijatuhkan ia tidak berusaha mengambilnya.
Ekspresinya kurang alert (kurang
siaga). Biasanya ia kurang responsive disbanding anak yang normal.
E. Pemeriksaan penunjang retardasi mental
Beberapa pemeriksaan penunjang perlu
dilakukan pada anak yang menderita retardasi mental, yaitu (Shonkoff JP, 1992)
:
1.
Kromosomal
kariotipe
(1)
Terdapat beberapa kelainan fisik yang
tidak khas
(2)
Anamnesis ibu tercemar zat-zat teratogen
(3)
Terdapat beberapa kelainan kongenital
(4)
Genitalia
abnormal
2.
EEG (Elektro
Ensefalogram)
(1)
Gejala kejang yang dicurigai
(2)
Kesulitan mengerti bahasa yang berat
3.
CT
(Cranial computed tomography) atau MRI
(Magnetic Resonance Imaging)
(1)
Pembesaran kepala yang progresif
(2)
Tuberous
sclerosis
(3)
Dicurigai kelainan otak yang luas
(4)
Kejang lokal
(5)
Dicurigai adanya tumor intrakranial
4.
Titer virus untuk infeksi kongenital
(1)
Kelainan pendengaran tipe sensorineural
(2)
Neonatal
hepatosplenomegali
(3)
Petechie
pada periode neonatal
(4)
Chorioretinitis
(5)
Mikroptalmia
(6)
Kalsifikasi intracranial
(7)
Mikrosefali
5.
Serum asam urat (Uric Acid Serum)
(1)
Choreoatetosis
(2)
Gout
(3)
Sering mengamuk
6.
Laktat dan piruvat darah
(1)
Asidosis
metabolik
(2)
Kejang mioklonik
(3)
Kelemahan yang progresif
(4)
Ataksia
(5)
Degenerasi
retina
(6)
Ophtalmoplegia
(7)
Episode seperti stroke yang berulang
7.
Plasma asam lemak rantai sangat panjang
(1)
Hepatomegali
(2)
Tuli
(3)
Kejang dini dan hipotonia
(4)
Degenerasi
retina
(5)
Ophtalmoplegia
(6)
Kista pada ginjal
8.
Serum
seng
(Zn)
(1)
Acrodermatitis
9.
Logam berat dalam darah
(1)
Anamnesis adanya pika
(2)
Anemia
10.
Serum
tembaga (Cu) dan ceruloplasmin
(1)
Gerakan yang involunter
(2)
Sirosis
(3)
Cincin Kayser-Fleischer
11.
Serum asam amino atau asam organik
(1)
Kejang yang tidak diketahui sebabnya
pada bayi
(2)
Gagal tumbuh
(3)
Bau yang tidak biasa pada air seni atau
kulit
(4)
Warna rambut yang tidak biasa
(5)
Mikrosefali
(6)
Asidosis
yang tidak diketahui sebabnya
12.
Plasma
ammonia
(1)
Muntah-muntah dengan asidosis metabolik
13.
Analisa enzim lisozom pada lekosit atau biopsi kulit :
(1)
Kehilangan fungsi motorik dan kognitif
(2)
Atrofi
N. Optikus
(3)
Degenerasi
retina
(4)
Serebelar
ataksia yang berulang
(5)
Mioklonus
(6)
Hepatosplenomegali
(7)
Kulit yang kasar dan lepas-lepas
(8)
Kejang
(9)
Pembesaran kepala yang dimulai setelah
umur 1 tahun
14.
Urin mukopolisakarida
(1)
Kiposis
(2)
Anggota gerak yang pendek
(3)
Badan yang pendek
(4)
Hepatosplenomegali
(5)
Kornea keruh
(6)
Gangguan pendengaran
(7)
Kekakuan pada sendi
15.
Urin reducing
substance
(1)
Katarak
(2)
Hepatomegali
(3)
Kejang
16.
Urin ketoacid
(1)
Kejang
(2)
Rambut yang mudah putus
17.
Urin asam
vanilimandelik
(1)
Muntah-muntah
(2)
Isapan bayi pada saat menyusu yang lemah
(3)
Gejala disfungsi autonomic
F. Penatalaksanaan retardasi mental
Terapi terbaik adalah pencegahan primer,
sekunder, dan tersier. Pencegahan primer adalah tindakan yang dilakukan untuk
menghilangkan atau menurunkan kondisi yang menyebabkan gangguan. Tindakan
tersebut termasuk pendidikan untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran
masyarakat umum, usaha terus menerus dari professional bidang kesehatan untuk
menjaga dan memperbaruhi kebijakan kesehatan masyarakat, aturan untuk
memberikan pelayanan kesehatan maternal
dan anak yang optimal, dan eradikasi
gangguan yang diketahui disertai kerusakan system saraf pusat. Konseling
keluarga dan genetic dapat membantu.
Tujuan
pencegahan sekunder adalah untuk mempersingkat perjalanan penyakit, serta
pencegahan tersier bertujuan untuk menekan kecacatan yang terjadi. Dalam
pelaksanaannnya kedua jenis pencegahan ini dilakukan bersamaan, yang meliputi
pendidikan untuk anak; terapi perilaku, kognitif
dan psikodinamika, pendidikan
keluarga; dan intervensi farmakologis.
Pendidikan
untuk anak harus merupakan program yang lengkap dan mencakup latihan
keterampilan adaptif, social, dan kejuruan. Suatu hal yang penting adalah
mendidik keluarga tentang cara meningkatkan kompetensi dan harga diri dengan
mempertahankan harapan yang realistik.
Adapun
beberapa latihan yang diberikan secara kronologis : latihan di rumah : pelajaran-pelajaran mengenai makan sendiri,
berpakaian sendiri, kebersihan badan; latihan
di sekolah : yang penting dalam hal ini adalah perkembangan rasa sosial; latihan teknis : diberikan sesuai dengan
minat, jenis kelamin, dan kedudukan sosial; latihan
moral : dari kecil anak harus diberitahukan apa yang baik dan apa yang
tidak baik. Agar ia mengerti maka tiap-tiap pelanggaran disiplin perlu disertai
hadiah. Hukuman dapat berupa : dimarahi, tidak diberi makanan yang disukai,
larangan bermain untuk sementara waktu dan sebagainya. Hadiah dapat berupa :
kata-kata pujian, mainan, makanan, dan sebagainya (Maramis, 1996: 395). Untuk
mengatasi perilaku agresi dan melukai
diri sendiri dapat digunakan naltrekson.
Untuk gerakan motorik stereotipik
dapat dipakai antipsikotik seperti haloperidol dan klorpromazin. Perilaku kemarahan eksplosif dapat diatasi dengan penghambat beta seperti propranolol
dan buspiron. Adapun untuk gangguan defisit atensi atau hiperaktivitas sapat
digunakan metilpenidat (Kaplan dan
Sadock, 1994: 423)
G. Pencegahan retardasi mental
Penyembuhan
dari retardasi mental ini boleh dikatakan tidak ada, sebab kerusakan sel-sel
otak tidak mungkin fingsinya dapat kembali normal, maka yang terpenting adalah
pencegahan primer yaitu usaha yang dilakukan untuk mencegah terjadinya
penyakit. Dengan memberikan perlindungan terhadap penyakit-penyakit yang
potensial dapat mengakibatkan retardasi mental, misalnya melaui imunisasi.
Konseling perkawinan, pemeriksaan kehamilan yang rutin, nutrisi yang baik
selama masa kehamilan dan bersalin pada tenaga-tenaga kesehatan yang berwenang,
maka dapat membantu menurunkan angka kejadian retardasi mental. Demikian pula
dengan memberantas kemiskinan dengan membuka lapangan kerja. Memberikan
pendidikan yang baik, memperbaiki sanitasi lingkungan, meningktakan gizi
keluarga, akan meningkatkan ketahanan terhadap penyakit. Dengan adanya program
BKB (Bina Keluarga dan Balita) yang merupakan stimulasi mental dini dan bisa
dikembangkan juga deteksi dini, maka dapat mengoptimalkan perkembangan anak.
Diagnosis
dini sangat penting, dengan melakukan skrining sedini mungkin, terutama pada
tahun pertama, maka dapat dilakukan intervensi yang dini pula. Misalnya
diagnosis dini dan terapi dini hipotiroid,
dapat memperkecil kemungkinan retardasi mental. Deteksi dan intervensi dini
pada retardasi mental sangat membantu memperkecil retardasi mental yang
terjadi. Makin dini dan makin sering intervensi dilakukan, maka makin baik
hasilnya. Tetapi makin berat kecacatan, maka hasil yang dicapai juga makin
kurang. Hasil akhir suatu intervensi adalah makin dini dan teratur suatu
intervensi yang diberikan makin baik hasilnya, sehingga mengurangi
kecacatannya. Namun, pada anak yang penyebabnya sangat kompleks, latar belakang
social dan kebiasaan yang kurang baik, dan intervensi yang tidak teratur, maka
hasilnya juga tidak memuaskan. (dikutip dari Crocker, 1983)
SUMBER :
Maramis,W.F.1996.Ilmu Kedokteran Jiwa.Jakarta : Lembaga Penerbitan UNAIR
Kaplan,H.I.1997. Sinopsis Psikiatri.Jakarta :Binarupa Aksara
Soetjiningsih.1995.Tumbuh Kembang Anak.Jakarta:EGC
Keliat,Budi Anna.1992.Peran Serta Keluarga dalam Perawatan Gangguan Jiwa.Jakarta:EGC
SUMBER :
Maramis,W.F.1996.Ilmu Kedokteran Jiwa.Jakarta : Lembaga Penerbitan UNAIR
Kaplan,H.I.1997. Sinopsis Psikiatri.Jakarta :Binarupa Aksara
Soetjiningsih.1995.Tumbuh Kembang Anak.Jakarta:EGC
Keliat,Budi Anna.1992.Peran Serta Keluarga dalam Perawatan Gangguan Jiwa.Jakarta:EGC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar